Thursday, February 18, 2010

Ribut di hati mahasiswa

'ribut di cangkir".

Seorang cendikiawan menanggapi saya ketika berada di kampus tatkala mengadu tentang suara mahasiswa yang dipinggirkan oleh penguasa universiti . mulanya saya enggan bersetuju dengan pandangan beliau, saya kemukakan hujah-hujah dari lidah Soekarno dan Bung Hatta, Prof. Diraja Ungku Aziz, malahan menyeret sama paradigma Mao Tze Dong dan Che Guevara terhadap kuasa dari kampus.

Saya juga meneguhkan bicara dengan mengatakan kerajaan autokrasi Soeharto dikebumikan bersama-sama jasad sahabat Trisakti yang menumpahkan darah demi memberikan sebuah negara baru kepada rakyat Indonesia. Malahan adalah mimpi melihat China yang lebih terbuka kepada dunia kalau bukan darah para mahasiswa mengalir hanyir di Medan Tiananmen. Tidak juga penjara menjamah mesra tubuh-tubuh pemimpin mahasiswa yang diangkut dengan kuasa ISA kalau kuasa yang ada pada mahasiswa tidak menggentarkan pemerintah. Manakan mungkin AUKU digubal bagi membisukan dan merencatkan mahasiswa kalau kuasa mereka tidak menggugah.

Ahh..paham sahajalah ketika itu, darah muda cepat meluap dan api perjuangan sedang membakar tinggi melangit. Jangankan autokrat universiti, malahan pimpinan negara dimaki, diherdik, dipulau di jalanan. Cendikiawan itu kemudian tersenyum dan menepuk bahuku.

"Anakku..aku rasakan api dalam dirimu. Tapi apakah jasadmu ini, sudah kau siapkan sepasang kafan untuk dipakaikan jika perjuanganmu menuntut nyawamu? Apakah jari-jarimu ini sudah bersedia merangkul mesra jeriji-jeriji besi penjara yang dingin? apakah matamu itu sudah kau persiapkan tatkala gas-gas pemedih tanpa mata menerobos ganas ke dalamnya? "
bicara cendikiwan itu lembut dalam senyum yang tidak pudar dari bibirnya, tapi cukup untuk membuat aku bungkam tanpa suara.

Dia berlalu, kemudian menoleh " anakku, ribut di cangkir, kalau tumpah di warung yang sesak, bisa sahaja menjadi kecoh dan hingar.." ahhh..dia memang pandai berbicara.

2 comments:

Cikgu Metal said...

kalau bukan ribut dalam hati, bukan anak muda namanya. Anak muda bermain dengan tsunami, orang tua meniti ombak dan duduk-duduk di beting pasir melihat tsunami yang akhirnya tersangkut entah di mana.

labatta said...

ribut dihati mahasiswa... seperti ribut di cangkek... indokku bagitahu.

walau warna emas diluarnya... tapi selalu air kopi didalamnya...

biar mahasiswa dgn idealis dan pemikirannya...

sebab memang begitu cara hidup perjalanannya... yang sudah melalui akan melihat dari sudut yang berbeza... yang sedang mengalaminya berbeza juga.

apa yang penting kita saling meraihkan...alangkah indah jika kita boleh saling berkongsi dan nasihat menasihati.

pada maneng ki' makguru puang..